Pada
senja, aku berani bercerita, tentang diriku yang kembali mencari jati diri
sebenarnya. Pada sebuah jalan, yang aku namai sebagai yang seribu dari jiwaku.
Adalah senja, kujumpai jati diriku di
ujung jalan sana bermahkotakan cahaya. Ku dekati ia, mengeja satu-satu fakta
yang pelan-pelan menyublim sempurna.
Jalan beraura kelabu sepertinya tidak
boleh diberi empati. Dunia sudah banyak mengajariku. Bahwa gadis lugu hanya
akan dipermainkan. Tapi, entahlah, seribu jalan lain sudah kutempuh, kenapa
hanya pada jalan itu aku tersesat.
Selangkah pertama, ku pandangi kanan
kiri, terlihat bayi mungil bernama Anisa Susianti menangis setelah baru saja
keluar dari rahim ibunya. Di bawahnya, ku baca tulisan “Karanganyar, 26 Januari
2000”. Itu fakta pertama yang nampak oleh mataku.
Langkah kedua, aku berjalan sambil menunduk,
ku dengar tawa gadis mungil yang dikejar anjing karena keusilannya. Aku
mendengus kecil sambil menarik salah satu sudut bibirku ke atas, “huh.. itukah
aku dulu? Nakal sekali.”
Kaki-kaki jenjangku terus melangkah ke
depan, merangsek ke jalan beraura kelabu itu kian dalam. Dengan percaya diri
aku menghampiri pelangi di sebelah kiriku kala itu. Disana tergambar masa-masa
sekolahku dari SD, SMP, SMA.
Di puncak paling atas pelangi –warna
merah, disana aku melihat diriku tertunduk dalam dengan kerumunan orang yang
sedang mem-bully aku yang masih memakai
seragam putih biru. Inginku berteriak kepada sampah masyarakat seperti mereka
bahwa aku bukan epidemi penyakit yang harus diasingkan dan bukan sampah yang
mesti dibuang.
Jingga, mengingatkanku pada senja
keemasan. Aku melihat diriku sendiri berseragam putih abu-abu menyusuri jalanan
sepulang sekolah sore.
Satu tingkat dibawahnya, aku melihat
terik matahari pagi mengarah padaku yang sedang diantar nenek pergi ke sekolah
pada hari pertama.
Hijau. DI taman sekolah yang hijau
itu, aku melihat diriku sendiri bertemu dengannya, sosok lelaki idola sekolah.
Cinta pertama, eh? Aku tersenyum
miring, merasa miris dengan kenyataan, bahwa dulu kami bukan kekasih, bukan
sahabat, bukan pula musuh. Aku dan dia hanyalah dua orang dengan segudang masa
lalu masing-masing.
Bodohnya,
aku mengalah pada cinta monyet yang amat semu itu. Gila memang, aku melepas
organisasi, tak peduli prestasi, demi dia. Aku membutuhkannya serupa aku
membutuhkan oksigen untuk bernapas.
Langit biru menjadi saksi, bahwa di
bawahnya, aku meninggalkan dia sepenuhnya. Bukan hanya fisik, juga menyeluruh.
Seperti saat aku menerimanya tanpa praduga, aku pun meninggalkannya tanpa
tersisa.
Diujung pelangi, nila siangku, ungu
malamku, aku tersesat. Terseret dalam arus kehidupan masa sekolah yang
menuntutku berprestasi, aktif organisasi, disaat bersamaan, hasrat menggebu
akan cinta pertama turut menghantui.
Di ujung pelangi itu pula, aku melihat
diriku sendiri berkalungkan medali matematika sedang termenung, aura mencekam
begitu ungu di raut mukaku. Tunggu. Dari sudut pandang lain, dia –lelaki itu,
tersenyum tipis dengan medali fisika
juga terkalung di leher. Menatapku lurus-lurus.
Pada jarak yang tak pernah tertulis
dalam tinta, kehidupan sekolah serupa soal aljabar yang tak pernah selesai,
senantiasa merantai memang.
Puas menilik pelangi, aku melangkah
pergi. Menyimpan rapat-rapat memori masa sekolah hingga waktunya tiba.
Melangkah menjauh dari pelangi, aku
berjalan ke arah tumpukan buku-buku favoritku. Tanpa disuruh pun, aku sudah
berenang di lautan buku.
Aku hobi menulis dan membaca. Tak
heran, kacamata tebal menggantung setiap hari diatas hidung tak seberapa
mancungku ini. Dengan menulis aku bisa mengungkap rindu tanpa dia harus tahu.
Dengan membaca, aku terlarut dalam dunia imaji yang membiusku untuk melupakannya.
Terima kasih Tuhan. Kau telah
memberikan bakat menulis bagi orang-orang luar biasa sehingga karyanya bisa aku
nikmati sebagai pelipur lara dan penyuplai motivasi saat aku sedang dalam tahap
jenuh.
Terima kasih kepada Susan Arisanti
dengan bukunya Seribu Nadham di Sepertiga
Malam yang mampu mengubah mind set-ku
tentang cinta dan agama.
Dunia kepenulisan sudah mengajarkanku
banyak pengalaman menyenangkan. Aku bisa mendapatkan banyak sertifikat karena
ikut serta dalam beberapa lomba menulis. Tapi aku belum ingin berhenti menulis,
karena nilai dan pengakuan tapi tanpa manfaat, tidak akan pernah bisa mengubah
peradaban.
Dalam hidup ini, banyak orang yang
seperti emas, berharga, menyilaukan, tetapi tidak bermanfaat bagi sesama. Oleh
karenanya, aku melanjutkan jenjang kuliah di Universitas Hasanuddin Prodi Ilmu
Keperawatan.
Saat aku mulai memantapkan hati,
hadirnya membuatku goyah –lagi. Lagi-lagi aku terseret, tersesat dalam kalbu
yang berliku. Aku ragu, menerka-nerka hati mana yang hendak aku tuju. Ada
bayang STAN meski aku bersama Keperawatan. Apa aku harus hidup dalam
kepura-puraan melulu?
Aku terengah, di setiap napas dalam
perjalananku ada ragu yang menyiksa, begitu kelam, teramat jalang, kejam, dan
menikam.
Di ujung jalan ini, di tengah terik
mentari, dia serupa permata yang dihambur-hamburkan dari langit. Dan, kurasa
Tuhan begitu jumawa saat menciptanya.
Tanpa
dikomandoi, kaki-kaki ini sudah melenggang ke sana, ke ujung jalan, dimana dia
berdiri dengan sombong, menertawakanku yang bodohnya masih berusaha meraihnya.
Seperti cahaya, tak ada yang tak cemerlang dari dirinya. Dan, seperti cahaya
pula, dia tak bisa ku raba.
Dia lebih permata daripada pagi. Lebih
emas daripada senja dan lebih sutra daripada malam. Aku mengaguminya dengan
segenap perasaan yang kumiliki.
Semakin kuatlah ambisiku untuk lulus
STAN tahun depan, demi mengejarnya. Tak salah, namun, aku seperti tak menemukan
jati diriku yang sesungguhnya. Aku hanya terobsesi pada cinta buta yang amat
sangat buram, semu, dan begitu abu-abu.
Harapanku ke depannya adalah aku dapat
menyelesaikan pendidikan di Ilmu Keperawatan ini dengan tepat waktu dan
mendapat predikat Cum Laude. Aku
berharap bisa mengabdikan diriku pada masyarakat.
Dan disinilah aku berdiri sekarang,
diujung jalan pencarian jati diriku yang sesungguhnya. Aku finish dalam keadaan tegar dan mampu mengkondisikan diriku pada
situasi yang tepat. Aku adalah aku yang apa adanya.
Bukan aku yang dulu, yang bahkan grogi
saat membalas matanya. Kini aku menguatkan mentalku yang dulu rapuh karena mata
hujan itu. Satu-satunya mata yang membuatku merindu dalam gigil.
Terakhir,
aku memohon padamu Tuhan, jika aku jatuh cinta pada cinta yang baik,
jatuhkanlah aku sejatuh-jatuhnya, Tuhan.