Thursday, November 23, 2017

[AUTOBIOGRAFI] Yang Semu dari Diriku



           Pada senja, aku berani bercerita, tentang diriku yang kembali mencari jati diri sebenarnya. Pada sebuah jalan, yang aku namai sebagai yang seribu dari jiwaku.
          Adalah senja, kujumpai jati diriku di ujung jalan sana bermahkotakan cahaya. Ku dekati ia, mengeja satu-satu fakta yang pelan-pelan menyublim sempurna.
          Jalan beraura kelabu sepertinya tidak boleh diberi empati. Dunia sudah banyak mengajariku. Bahwa gadis lugu hanya akan dipermainkan. Tapi, entahlah, seribu jalan lain sudah kutempuh, kenapa hanya pada jalan itu aku tersesat.
          Selangkah pertama, ku pandangi kanan kiri, terlihat bayi mungil bernama Anisa Susianti menangis setelah baru saja keluar dari rahim ibunya. Di bawahnya, ku baca tulisan “Karanganyar, 26 Januari 2000”. Itu fakta pertama yang nampak oleh mataku.
          Langkah kedua, aku berjalan sambil menunduk, ku dengar tawa gadis mungil yang dikejar anjing karena keusilannya. Aku mendengus kecil sambil menarik salah satu sudut bibirku ke atas, “huh.. itukah aku dulu? Nakal sekali.”
          Kaki-kaki jenjangku terus melangkah ke depan, merangsek ke jalan beraura kelabu itu kian dalam. Dengan percaya diri aku menghampiri pelangi di sebelah kiriku kala itu. Disana tergambar masa-masa sekolahku dari SD, SMP, SMA.
          Di puncak paling atas pelangi –warna merah, disana aku melihat diriku tertunduk dalam dengan kerumunan orang yang sedang mem-bully aku yang masih memakai seragam putih biru. Inginku berteriak kepada sampah masyarakat seperti mereka bahwa aku bukan epidemi penyakit yang harus diasingkan dan bukan sampah yang mesti dibuang.
          Jingga, mengingatkanku pada senja keemasan. Aku melihat diriku sendiri berseragam putih abu-abu menyusuri jalanan sepulang sekolah sore.
          Satu tingkat dibawahnya, aku melihat terik matahari pagi mengarah padaku yang sedang diantar nenek pergi ke sekolah pada hari pertama.
          Hijau. DI taman sekolah yang hijau itu, aku melihat diriku sendiri bertemu dengannya, sosok lelaki idola sekolah. Cinta pertama, eh? Aku tersenyum miring, merasa miris dengan kenyataan, bahwa dulu kami bukan kekasih, bukan sahabat, bukan pula musuh. Aku dan dia hanyalah dua orang dengan segudang masa lalu masing-masing.
Bodohnya, aku mengalah pada cinta monyet yang amat semu itu. Gila memang, aku melepas organisasi, tak peduli prestasi, demi dia. Aku membutuhkannya serupa aku membutuhkan oksigen untuk bernapas.
          Langit biru menjadi saksi, bahwa di bawahnya, aku meninggalkan dia sepenuhnya. Bukan hanya fisik, juga menyeluruh. Seperti saat aku menerimanya tanpa praduga, aku pun meninggalkannya tanpa tersisa.
          Diujung pelangi, nila siangku, ungu malamku, aku tersesat. Terseret dalam arus kehidupan masa sekolah yang menuntutku berprestasi, aktif organisasi, disaat bersamaan, hasrat menggebu akan cinta pertama turut menghantui.
          Di ujung pelangi itu pula, aku melihat diriku sendiri berkalungkan medali matematika sedang termenung, aura mencekam begitu ungu di raut mukaku. Tunggu. Dari sudut pandang lain, dia –lelaki itu, tersenyum tipis  dengan medali fisika juga terkalung di leher. Menatapku lurus-lurus.
          Pada jarak yang tak pernah tertulis dalam tinta, kehidupan sekolah serupa soal aljabar yang tak pernah selesai, senantiasa merantai memang.
          Puas menilik pelangi, aku melangkah pergi. Menyimpan rapat-rapat memori masa sekolah hingga waktunya tiba.
          Melangkah menjauh dari pelangi, aku berjalan ke arah tumpukan buku-buku favoritku. Tanpa disuruh pun, aku sudah berenang di lautan buku.
          Aku hobi menulis dan membaca. Tak heran, kacamata tebal menggantung setiap hari diatas hidung tak seberapa mancungku ini. Dengan menulis aku bisa mengungkap rindu tanpa dia harus tahu. Dengan membaca, aku terlarut dalam dunia imaji yang membiusku untuk melupakannya.
          Terima kasih Tuhan. Kau telah memberikan bakat menulis bagi orang-orang luar biasa sehingga karyanya bisa aku nikmati sebagai pelipur lara dan penyuplai motivasi saat aku sedang dalam tahap jenuh.
          Terima kasih kepada Susan Arisanti dengan bukunya Seribu Nadham di Sepertiga Malam yang mampu mengubah mind set-ku tentang cinta dan agama.
          Dunia kepenulisan sudah mengajarkanku banyak pengalaman menyenangkan. Aku bisa mendapatkan banyak sertifikat karena ikut serta dalam beberapa lomba menulis. Tapi aku belum ingin berhenti menulis, karena nilai dan pengakuan tapi tanpa manfaat, tidak akan pernah bisa mengubah peradaban.
          Dalam hidup ini, banyak orang yang seperti emas, berharga, menyilaukan, tetapi tidak bermanfaat bagi sesama. Oleh karenanya, aku melanjutkan jenjang kuliah di Universitas Hasanuddin Prodi Ilmu Keperawatan.
          Saat aku mulai memantapkan hati, hadirnya membuatku goyah –lagi. Lagi-lagi aku terseret, tersesat dalam kalbu yang berliku. Aku ragu, menerka-nerka hati mana yang hendak aku tuju. Ada bayang STAN meski aku bersama Keperawatan. Apa aku harus hidup dalam kepura-puraan melulu?
          Aku terengah, di setiap napas dalam perjalananku ada ragu yang menyiksa, begitu kelam, teramat jalang, kejam, dan menikam.
          Di ujung jalan ini, di tengah terik mentari, dia serupa permata yang dihambur-hamburkan dari langit. Dan, kurasa Tuhan begitu jumawa saat menciptanya.
Tanpa dikomandoi, kaki-kaki ini sudah melenggang ke sana, ke ujung jalan, dimana dia berdiri dengan sombong, menertawakanku yang bodohnya masih berusaha meraihnya. Seperti cahaya, tak ada yang tak cemerlang dari dirinya. Dan, seperti cahaya pula, dia tak bisa ku raba.
          Dia lebih permata daripada pagi. Lebih emas daripada senja dan lebih sutra daripada malam. Aku mengaguminya dengan segenap perasaan yang kumiliki.
          Semakin kuatlah ambisiku untuk lulus STAN tahun depan, demi mengejarnya. Tak salah, namun, aku seperti tak menemukan jati diriku yang sesungguhnya. Aku hanya terobsesi pada cinta buta yang amat sangat buram, semu, dan begitu abu-abu.
          Harapanku ke depannya adalah aku dapat menyelesaikan pendidikan di Ilmu Keperawatan ini dengan tepat waktu dan mendapat predikat Cum Laude. Aku berharap bisa mengabdikan diriku pada masyarakat.
          Dan disinilah aku berdiri sekarang, diujung jalan pencarian jati diriku yang sesungguhnya. Aku finish dalam keadaan tegar dan mampu mengkondisikan diriku pada situasi yang tepat. Aku adalah aku yang apa adanya.
          Bukan aku yang dulu, yang bahkan grogi saat membalas matanya. Kini aku menguatkan mentalku yang dulu rapuh karena mata hujan itu. Satu-satunya mata yang membuatku merindu dalam gigil.
Terakhir, aku memohon padamu Tuhan, jika aku jatuh cinta pada cinta yang baik, jatuhkanlah aku sejatuh-jatuhnya, Tuhan.
Load disqus comments

0 comments